Air mata menitik jatuh ke sajadah , ketika imam melantunkan surah 95
At-Tin pada raka’at kedua shalat Jum’at beberapa waktu lalu. Surat yang indah
yang menyentuh kalbu, sehingga gelombang kesedihan tumpah menggelora tak
tertahankan.
Hari Kamis kemarin, aku menghadiri sidang gugatan cerai yang diajukan
istriku tercinta. Mungkin peristiwa ini yang membuatku kekuatanku runtuh. Untuk
kedua kalinya dalam hidupku aku menghadapi sidang gugatan cerai, setelah tujuh
tahun berlalu. Aku tak mampu bertahan menghadapi goncangan ini, bahkan
terbersit pikiran agar ruh-ku diambil dan pulang ke haribaan Allah yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Harus kuakui, aku tak mampu mengendalikan biduk
rumah-tangga yang ringkih dalam menghadapi badai kehidupan. Aku yang bersalah,
dan istriku tak memaafkannya.
Sebelum upaya mediasi oleh pihak Pengadilan Agama, aku sempat bertanya
dengan lirih kepada istriku: “kira-kira apakah keputusan yang engkau minta
wahai istriku?”. Ia menjawab singkat dan tegas: “aku hanya ingin bercerai”. Tak
ada lagi kata-kata yang bisa aku ucapkan saat itu. Sang mediator bertanya hal
yang serupa. Istriku tetap pada pendiriannya. Mediasi selesai dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Di luar ruang mediasi, sang mediator bertanya kepadaku: “apakah ada
orang lain (yang mengisi hati istriku”. Aku menjawab, bahwa tiada orang lain di
antara kita. Persoalannya terletak pada diriku yang tak mampu menakhkodai biduk
rumah-tangga. Sang mediator terdiam, trenyuh.
[95:1]
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
[95:2]
dan demi bukit Sinai,
[95:3]
dan demi kota (Mekah) ini yang aman,
[95:4]
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.
[95:5]
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
[95:6]
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
[95:7]
Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah
(adanya keterangan-keterangan) itu?
[95:8] Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Aku meyakini seyakin-yakinya
bahwa Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya. Bisa jadi Allah murka kepadaku
ketika perceraian itu terjadi. Aku hanya bisa pasarah, bertobat atas segala
kesalahanku yang mengingkari kuasa Allah yang telah menciptakanku sebagai
manusia yang sempurna, namun tidak mengakui tentang hari pembalasan setelah
kebenaran yang disampaikan melalui junjungan Nabi Muhammad S.A.W.
Aku selama ini telah menjauhi
Allah. Sayangnya, aku menunggu musibah yang tragis baru mengingat kasih-sayang
Allah yang tidak henti. Surah At-Tin membuat ruh-ku berontak bangun, dan
menyongsong cinta yang sejati: cinta kepada Allah swt.
Ternyata Allah masih merindukanku
dan mencintaiku tanpa batas, tanpa syarat, tanpa terduga-duga. Ya Allah
Penguasa Semesta, aku mencintaiMu melebihi apapun. Aku membalas cintaMu dengan
tulus, sepenuh jiwa-raga. Aku tetap menjaga titipan-titipanMU, anak-anakku,
sampai ajalku tiba.
Aku menangis karena bahagia!
Bukan karena kesedihan yang mendera.
Silahkan baca juga artikel ini.
0 komentar:
Post a Comment