Kasus dugaan
korupsi proyek e-KTP telah menghempaskan sejumlah nama besar yang disebut-sebut
telah menerima uang suap untuk memuluskan penayangan proyek pengadaan tersebut.
Proyek senilai Rp. 5,9 Trilyun yang diadakan selama tahun 2011-2012 oleh
Kementerian Dalam Negeri mengindikasikan
“bancakan rame-rame” dengan
menggoreng proses pelelangan sampai dengan pelaksanaannya. Alhasil, sekitar Rp.
2,3 Trilyun dari anggaran pengadaan e-KTP telah ditelan dinikmati oleh mereka
dari kalangan terhormat, baik penyedia jasa (pengusaha), pejabat Kementerian
Dalam Negeri sampai dengan anggota DPR yang nota-bene mewakili rakyat. Entah
rakyat bagian mana?
Korupsi proyek
pengadaan, dalam banyak kasus, pasti dilakukan bersama-sama oleh banyak pelaku.
Sejak dari perencanaan pengadaan, proses pelelangan melalui e-procurement , dan dalam pelaksanaanya
sampai dengan serah-terima hasil pekerjaan akan melibatkan beberapa orang yang
bertanggung-jawab terhadap proses itu. Dua terdakwa sedang disidang dan 19
politikus yang diduga memakan uang suap telah diperiksa oleh aparat hukum.
Maka
terjadilah perbuatan mencuri anggaran negara (korupsi adalah penghalusan
istilah) yang dilakukan secara bergerombol. Gerombolan perampok yang bancaan
memakan uang hasil keringat banyak orang. Pajak yang dibayarkan wajib pajak kepada
kas negara adalah hasil jungkir-balik kegiatan usaha warga negara Indonesia.
Bancaan uang
negara bisa jadi mengadopsi kebersamaan dan kegotong-royongan warga desa.
Kebersamaan warga desa adalah bentuk solidaritas positif. Sedangkan kebersamaan
para koruptor adalah bentuk persekongkolan yang merugikan negara untuk
kepentingan diri sendiri dan selingkuhannya.
Bancaan
versi asli dan positif adalah suatu kegiatan makan bersama beberapa orang yang
telah usai bergotong-royong untuk kepentingan bersama dengan format menu yang
bersahaja: nasi liwet yang digelar di
atas daun pisang, oseng tempe-teri, jengkol goreng, irisan timum, daun cintrong
dan sambal pedas. Seperti tergambar di bawah ini:
0 komentar:
Post a Comment