• Reorientasi Pola Konsumsi Menuju Kemandirian Bangsa

    Gema “Gemah Ripah Loh Jinawi” terdengar lamat-lamat, lantas senyap ditelan gemuruhnya perebutan kepentingan di antara anak bangsa. Sumber daya alam, sebagai bagian dari rantai produksi komoditas yang berpotensi menghasilkan devisa dan sumber pangan, sejenak diabaikan dipinggirkan dan dijadikan obyek demi memuluskan raihan kepentingan kelompok atau pribadi, Sumber daya alam dikaryakan dan “dikontrak-karyakan” kepada pihak ketiga demi hanya mendapatkan dampak tetesan keuntungan bagi rakyat banyak. Bagi sebahagian pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam manfaat yang didapat amatlah besar, terus mengalir deras ke kantung-kantung pribadi sampai ke anak cucu. Sampai titik ini hidup mereka sentosa, aman dan langgeng. Tidak bagi bahagian terbesar rakyat yang hanya bisa menonton pertunjukan: “oil booming”; “kegiatan pengerukan raksasa tambang mineral”; “penerapan hak pengelolaan hutan”; “proyek perkebunan inti rakyat, yang men-substitusi perkebunan tradisional menjadi perkebunan monokultur”.

    Posisi geo-politik, potensi sumber daya alam yang melimpah, dan sumber daya manusia Indonesia (dahulu disebut Nusantara) telah menarik minat bangsa (baca: pedagang) asing untuk mengeksploitasi kekayaan yang merupakan anugerah Tuhan. Tercatat, para pedagang dari seluruh penjuru dunia pernah bertransaksi di negeri ini, Persia, China, India, Mongolia, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Mereka mengirim pedagang, yang mendapatkan “endorsement” dari negara atau kerajaannya masing, untuk mengoptimalkan komoditas yang berpotensi menghasilkan keuntungan tinggi (dari sisi kacamata mereka). Pola perdagangan seperti ini selalu berulang, diperbaharui sesuai perkembangan ilmu dagang. Konstelasinya selalu tetap: mereka untung besar, kita kebagian sedikit dan merasa puas. 

    Model pertukarannya dirumuskan seperti ini:

    (TEKNOLOGI+TENAGA AHLI+KAPITAL) : (SDA+SDM) = LABA INVESTOR : HASIL KONTRAK KARYA

    Teknologi adalah alat untuk menjalankan proses menaikkan nilai sumber daya alam menjadi bahan mentah atau bahan setengah jadi
    Tenaga ahli yang menjalankan proses teknologi.
    Kapital, atau modal, digunakan untuk membiayai pembelian teknologi, upah tenaga ahli, seluruh rangkaian proses produksi dan upah pekerja.
    SDA, sumber daya alam, adalah sumber-sumber yang memiliki skala keekonomian yang memiliki captive market, seperti: mineral hasil tambang, hasil perkebunan, hasil pertanian dan hasil peternakan/perikanan.
    SDM, sumber daya manusia, merupakan komponen padat karya yang digunakan untuk kegiatan produksi yang tidak memerlukan teknologi.

    Dengan “mengagunkan” SDA dan SDM dalam format supply guarantee, diperoleh permodalan dari sumber pembiayaan (hutang) luar negeri –dihaluskan dengan kata “bantuan” dan “pinjaman lunak” -dengan tenor pengembalian 25 tahun. Termasuk di dalam persyaratan hutang adalah opsi pembelian teknologi dan tenaga ahli yang bisa mengoperasikannya, tentu saja dalam standar harga mata uang asing dan sales guarantee  yang mengatur penyerapan (penjualan) barang hasil produksi.  Tanpa perlu repot-repot, kekayaan sumber daya alam telah dikontrak-karyakan dengan hasil menggiurkan. Namun jika dikonversikan kepada biaya dana (bunga hutang), biaya pemeblian teknologi, pembayaran upah tenaga ahli luar negeri, perubahan ekosistem alami, biaya sosial, dan keterlambatan peralihan teknologi, maka struktur pembiayaan akan menjadi beban yang sangat besar pada saat jatuh tempo pembayaran hutang (hutang tahun 1970’an jatuh tempo pada tahun 1995’an, yang berakhir pada krisis moneter).

    Selama masa keemasan menikmati hasil kontrak karya, ditambah dengan rekayasa stabilisasi ekonomi, maka seluruh rakyat Indonesia berada dalam comfort zone: harga 9 pokok dikendalikan agar murah, bahan bakar minyak murah, listrik murah (kendati harga pokok penjualan lebih tinggi), tak perlu repot-repot memproduksi barang yang berorientasi ekspor. Termasuk rasa nyaman adalah cepat belajar meningkatkan konsumsi, sebagai bagian untuk memenuhi kriteria penduduk negara maju.

    Sumber Daya Manusia yang besar dan konsumtif merupakan magnitude bagi produsen luar negeri untuk menjual sebesar-besarnya barang yang dibutuhkan, primer maupun sekunder. Beras, kedelai, minyak sawit, susu bubuk adalah sedikit contoh yang meruntuhkan produsen beras, petani kedelai, pengrajin kopra/minyak kelapa, peternak susu murni cair. Demikian sistematis perubahan pola konsumsi, sehingga saat ini hampir dalam seluruh bidang kehidupan sangat mudah ditemui produk impor. Sebutlah, maka daftarnya akan sangat panjang. Bukan berarti pengusaha, petani, peternak, dan produsen barang tidak mampu memproduksinya, namun skala keekonomiannya tidak layak dibanding produk luar. Pelaku ekonomi domestik akan berhadapan dengan pelaku ekonomi luar yang di-support penuh oleh negaranya.

    Untuk “melawan” ketimpangan struktural di atas memerlukan energi yang luar biasa dan dukungan masif dari seluruh komponen bangsa, serta membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan. Langkah yang bisa dilakukan, bisa dari sklala kecil dan berada dalam ruang kendali masing-masing anak bangsa adalah dengan melakukan re-orientasi pola konsumsi.

    Tidak dengan menggunakan jargon “mengencangkan ikat pinggang” seperti pernah dipropagandakan pada jamannya, tetapi dengan menentukan pilihan pola konsumsi, dengan pengurangan dan substitusi.

    Pengurangan konsumsi bisa bermakna luas, di antaranya: mengkonsumsi produk jika memang benar-benar dibutuhkan. Contoh kecil: dalam suatu acara perjamuan, ambillah makanan tidak berlebihan agar tidak bersisa sebutir nasipun pada piring; melakukan perhitungan cermat dalam proses produksi suatu barang, agar pemakaian bahan baku optimal; berjalan-kaki atau bersepeda untuk tujuan yang dekat, agar mengurangi bahan bakar dan umur pakai komponen; menolak bungkus plastik dan membawa wadah (tas belanja) dari rumah saat berbelanja. Tindakan sederhana dan dampaknya sangat kecil, namun ketika perbuatan serentak diakumulasi ia akan menjadi suatu gerakan yang penting.

    Substitusi pilihan konsumsi merupakan aktivitas pemilihan produk secara seksama yang mempertimbangan barang serupa buatan lokal atau hasil olahan lokal dibanding barang serupa buatan luar negeri. Mungkin banyak orang akan mempertanyakan perbandingan kualitas, penampilan, ketersediaan di pasaran dan –yang paling parah- daya angkat gengsi. Seorang pesohor akan merasa turun derajat saat memilih bedak buatan lokal dibanding impor. Beberapa contoh antara lain: beli ayam goreng kampung dibanding ***fried chicken; pakai kaos bandung dibanding kaos impor; beli olahan singkong dibanding roti; dan seterusnya. Memang pilihan produk lokal terbatas dibanding produk impor. Tak ada salahnya memulai langkah kecil dan sederhana.

    Dengan perubahan pola pilihan atau re-orientasi pola konsumsi, suatu saat dapat memicu kebangkitan produsen lokal untuk memenuhi kembali kebutuhan pasar domestik. Akan lebih baik jika produk memiliki keunggulan komparatif di pasar luar negeri. Negara dapat memberikan insentif (pengurangan pajak dan bea) untuk barang-barang yang berorientasi ke pasar luar negeri (regional maupun internasional).

    Semoga mimpi ini bisa menjadi nyata, tergantung diri kita yang menghindari ini: Distrust Sebagai Pemicu Konflik.


    Selamat bekerja dan sukses untuk anda!
  • 0 komentar:

    Post a Comment

    Powered by Blogger.

    Facebook

    Followers

    Followers

    Powered By Blogger

    Blog Archive

    Breaking

    Random Posts

    Recent In Internet

    Recent Posts

    Recent Post

    Recent in Sports

    Iklan

    Facebook

    Click Here

    Comments

    Recent

    Technology

    Follow Us