Pada tahun 2016, ketika mengunjungi sebuah desa yang hanya berjarak 40
menit dari pusat kota Bogor yang padat lalu-lintasnya, penulis bertemu dengan
seorang gadis belia berusia kurang dari 16 tahun. Ia seorang santriwati cantik,
bertubuh mungil dengan dua lesung pipit yang bertengger di pipi saat tersenyum
manis, yang sedang belajar di sebuah pesantren tak jauh dari rumah tinggalnya. Penampilannya
sangat chick, segar, sedap dipandang mata dengan balutan baju terusan panjang
dan hijab yang cerah.
Pertengahan bulan April baru lalu, penulis dikirim undangan pernikahan:
sang gadis berlesung pipit yang masih ranum akan melangsungkan pernikahan. Artinya,
pada usia 16 tahun gadis manis itu telah kehilangan keperawanannya karena
pernikahan dini.
Rupanya, di kampung yang menurut hemat penulis bulan berada di daerah
pelosok atau pedalaman tradisi menikahkan anak gadis berusia belia masih berlangsung.
Tak sedikit gadis yang telah lulus Sekolah Dasar dinikahkan. Bahkan baru-baru
ini, penulis menemukan seorang wanita muda 16 tahun telah menggendong anak berusia
sekitar 1,5 tahun!
Di daerah Bandung utara, di kaki gunung yang dingin, juga dapat
ditemui gadis-gadis berusia 14 tahun sudah siap dinikahkan.
Tak heran, di beberapa desa dengan mudah ditemui ibu-ibu berusia belia.
Bahkan tak jarang timbul perceraian saat usia belum mencapai 20 tahun.
Sayangnya, penulis belum mendalami terjadinya fenomena tersebut.
Apakah memang faktor kebiasaan warga desa untuk menikahkan anak-anak gadis belia?
Atau kurangnya pengetahuan tentang resiko pernikahan usia dini? Atau faktor ekonomi
orang-tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan
lebih tinggi. Tentu saja untuk mendalaminya perlu penelitian yang mendalam agar
dapat diantisipasi upaya-upaya solusi yang tepat agar fenomena pernikahan dini
yang beresiko dapat dikurangi.
0 komentar:
Post a Comment