Selama tiga hari terakhir ini Bogor diguyur hujan berangin hampir
sepanjang siang malam. Hawa dingin menerpa kulit yang membungkus daging tak
berlemak langsung meresap kepada tulang-belulang. Dahsyatnya terasa pada sebuah
desa terpencil di kaki gunung Salak. Angin dingin dari lembah melesat cepat
ingin segera mencapai pucuk gunung menghempaskan sebuah pagar berdinding batako
telanjang yang kurang semennya, roboh. Kincir-kincir angin bertiang bambu
menari-nari mengeluarkan suara derau pada malam pekat berpetir-petir, menarik-narik
bulu tengkuk. Setandan buah pisang yang masih hijau meremaja terkapar pada
tanah ditindih sebatang pohon pisang, basah berkilat-kilat.
Dingin, gelap, sendirian lapar terdampar di sebuah saung bambu telah
menguatkan hati seorang penjaga Villa bergaji dua ratus ribu Rupiah sebulan
membawa sebilah golok berlari untuk memotong lalu menyeret tandan pisang yang
berat itu ke dekat hawu⁾¹. Tak lama berselang, suluh⁾² memerah membakar pisang-pisang berkulit hijau dan kuning
pada ujungnya. Nyala api telah menerangi gelap menghangatkan suhu sekitar.
Daging buah pisang yang telah terbakar matang menghangatkan perutnya yang cepat
terasa lapar pada malam yang menusuk kalbu itu. Setengah sisir pisang telah
memenuhi perutnya, cukup lunak karena dipanggang kendati masih terasa kesatnya
getah.
Terakhir ia melahap sepiring nasi goreng tadi jam sepuluh pagi, yang
terbuat dari sisa nasi semalam berbumbu cabai, bawang, garam dan
sepotong terasi, sebelum bekerja merawat kebun yang ditanami sayuran. Tak terlalu luas memang, hanya sekitar 300 m². Segera
setelah selesai berkebun, pekerjaan acian dan perapihan dinding villa sudah
menunggu. Rumah villa yang konon akan digunakan oleh sang pemilik dan
keluarganya yang serba tambun. Dan sang penjagapun akan selalu menempati saung
berdinding bilah-bilah bambu bercelah-celah tembus pandang sehingga dinginnya
malam dan tampias butir-butir air hujan merdeka memasuki ruang tidur beralaskan
tikar pandan.
Enam bulan sudah ia bertempat-tinggal di saung bambu yang terletak di
sebelah gedung villa yang seringkali kosong. Selama itu pula penghasilannya
dikirimkan ke rumah, dengan diiringi tangis doa setiap malam: “semoga dapat mencukupi kebutuhan
rumah-tangga dan biaya sekolah anak-anak”. Saat ini ia hanya mampu berdoa, tak
mampu berkirim kabar kepada istrinya. Dua minggu lalu telepon genggam,
satu-satunya barang berharga yang dibawa dari rumah, telah dijualnya untuk
menambah uang kiriman kepada istrinya.
Alasan lainnya, ia sudah tidak sanggup menjawab pertanyaan dari
istrinya tentang nasib mereka, tentang penghasilan selama suaminya merantau.
Tak pernah ada jawaban dan harapan yang mampu menenangkan kegelisahan istrinya.
Bahkan ia merasakan, bahwa istrinya sudah tidak mempercayainya dan berkeras
untuk tidak mengandalkannnya lagi sebagai tiang rumah-tangga. Bisa jadi
perasaan itu terbangun dari ketidak-berdayaannya untuk memenuhi kewajiban
memberikan nafkah yang layak. Ketidak-berdayaan yang membakar semangat hidupnya
menjadi layu. Sisa semangat hidup yang telah habis digoreng bersama terasi,
lalu terbang bersama angin dingin menuju puncak gunung Salak.
Pembelaan diri di hadapan istrinya telah musnah, ia menyerah pasrah.
Bahkan ia tidak mampu membela diri, ketika ia menanyakann handuk yang tidak
ditemukannya di dalam tas ransel baju. Istrinya mempertahankan pendapat: “handuk sudah aku masukkan ke dalam tas!”.
Saat itulah ia sadar, bahwa kepercayaaan istri kepadanya telah hilang.
Hari ini, Jum’at Legi, ini sang penjaga malam berniat melakukan
ritual, sebuah laku spiritual yang pernah dijalaninya beberapa belas tahun
lalu, ketika tiada lagi yang bisa dipertahankan dan dicintai. Sebuah kegiatan
untuk mendekatkan diri kepada alam dan menghambakan cinta sejati kepada Sang
Khalik. Tepat tengah malam, ia mandi. Sangat dingin, gelap, dan sendiri. Kaus
oblong bekas pakai menjadi handuk pengering badannnya.
Mengenakan pakaian terbaik yang ada dan sarung, ia duduk bersila pada
selembar sajadah usang, melakukan olah nafas untuk mengatur irama tubuh dan
menghentikan riuh-rendahnya kekacauan pikiran. Ia ingin mematikan pikiran,
membunuh ego agar mampu mencapai ketenangan mutlak. Pada satu titik, nafasnya
terhenti, untuk memulai proses penutupan sembilan lubang pada tubuhnya mulai
bekerja, dari bawah sampai atas. Terasa dingin tapi tidak dingin, terlihat
putih tapi tidak putih, pasrah, tenang dan damai. Dalam kesadaran penuh tak ada
suara gemericik hujan, tak terdengar suara angin, desiran daun bambu dan suara
apapun yang ditimbulkan alam.
Ia telah mencapai keheningan mutlak menuju Sang Sejati. Tak ada gemuruh
pikiran, tak ada nafsu, tak ada ego, tak ada rasa apapun. Panca-indranya
tertutup rapat-rapat.
Raganyapun tak merasakan apa-apa ketika sebuah pohon nangka yang rapuh
rebah bersama akarnya meratakan saung bambu dan menghancurkan sebagian dinding
villa.
----------------------------------------------------- OOO -------------------------------------------------------------
Ditulis Oleh:
Budi Susilo
Ditulis Oleh:
Budi Susilo
Kampung Gati, Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor
12 Februari 2017
Catatan:
- Hawu: tungku perapian bianya terbuat dari tanah liat atau disusun dengan bata, untuk memasak (Sunda)
- 2. Suluh: kayu bakar; bahan bakar yang diletakkan pada hawu.
0 komentar:
Post a Comment